Rabu, 22 Februari 2012

Konsep Dasar Medis - Leukemia

Di Indonesia, leukemia menduduki urutan ke-6 sebagai penyakit ganas yang sering terjadi. Penyakit kanker juga menjadi salah satu masalah kesehatan yang cukup penting, karena angka kejadian dan jumlah kematian akibat kanker terus meningkat setiap tahunnya.. Disini saya akan membahas sedikit tentang Penyakit Leukemia yang saya kumpulkan dari beberapa buku yang saya dapat.
LANDASAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Medis
     1.   Definisi
a.       Leukemia adalah suatu keganasan pada alat pembuatan sel darah berupa proliferasi patologis sel hemopoelitik mudah yang ditandai oleh adanya kegagalan sumsum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh lain.
(Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran, 2000 : 459)
b.      Leukemia, artinya “darah putih”, adalah profilerasi neoplastik satu sel tertentu (granulosit, monosit, limfosit, atau megakariosit).
(Arif Muttaqin, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Kardiovaskuler dan Hematologi, 2009 : 415).
c.       Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih disumsum tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah putih dengan menyingkirkan jenis sel lain.
(Elizabeth J. Corwin, Buku Saku Patofisiologi, 2009 : 430).

Berdasarkan ketiga definisi diatas, maka penulis menyimpulkan leukemia adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh proliferasi abnormal dari sel-sel leukosit yang menyebabkan kanker pada alat pembentuk darah.

      2.   Klasifikasi Leukimia
a.       Leukemia akut
1)      Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA)
Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA) bertanggung jawab atas 80% leukemia akut pada orang dewasa. Permulaanya mungkin mendadak atau progresif dalam masa 1 sampa 3 bulan, dengan durasi gejala singkat jika tidak diobati. LNLA fatal dalam 3-6 bulan.
2)     Leukemia Mieloblastik Akut (LMA)
M-0                 :     Berdiferensiasi minimal.
M-1                 :     Diferensiasi granulositik tanpa maturasi.
             M-2                 :     Diferensiasi granulositik dengan maturasi sampai stadium promielositik.
           M-3                 :     Diferensiasi granulositik dengan promielosit hipergranular,    dihubungkan dengan koagulasi  intrvaskular diseminata.
            M-4                 :     Leukemia mielomonosit akut; garis sel monosit dan granulosit.
            M-5a                :     Leukemia monosit akut; berdiferensiari buruk.
            M-5b               :     Leukemia monosit akut; berdiferensiasi baik.
               M-6                 :     Eritroblastosit yang menonjol dengan  diseritropoiesis  berat.
             M-7                 :     Leukemia megakariosit.
3)      Leukemia Limfositik Akut (LLA)
Merupakan kanker yang paling sering menyerang anak-anak dibawah 15 tahun, dengan puncak insiden antara umur 3 dan 4 tahun. Namun, 20% insiden terjadi pada orang dewasa yang menderita leukemia akut. Manifestasi LLA berupa penurunan jumlah leukosit, sel darah merah dan trombosit (eritrosit dan trombosit jumlahnya rendah namun leukosit jumlahnya dapat rendah atau tinggi), nyeri karena adanya pembesaran hati dan limpa, sakit kepala, muntah, serta nyeri tulang.
b.      Leukemia Kronik
1)   Leukemia Granulositik kronik (LGK) : LGK dianggap sebagai suatu gangguan mieloproliferatif karena sumsum tulang hiperselular dengan proliferasi pada semua garis diferensiasi sel. Tanda dan gejala berkaitan dengan keadaan hipermetabolik: kelelahan, penurunan berat badan, diaphoresis meningkat, dan tidak tahan panas.
2)   Leukemia limfositik Kronik (LLK) : merupakan suatu gangguan limfoproliferatif yang ditemukan apda orang tua (umur median 60 tahun) dimanifestasikan oleh proliferasi dan akumulasi 30 % limfosit matang abnormal kecil dalam sumsum tulang, darah perifer dan tempat-tempat ekstramedular, dengan kadar yang mencapai 100.000+/mm³ atau lebih.
3)   Leukemia sel berambut : Leukemia sel berambut relatif jarang terjadi. Gejala dan tanda yang tampak adalah kelelahan, pansitopenia, dan splenomegali.

       3. Anatomi Fisologi
Gambar kumpulan Sel darah



Menurut Tarwono dan Dra. Wartonah, 2008: 9 anatomi dan fisiologi darah diuraikan sebagi berikut:
Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup yang berada dalam ruang vaskuler, karena peranannya sebagai media komunikasi antar sel ke berbagai bagian tubuh karena fungsinya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dikeluarkan, membawa zat nutrisi dari saluran cerna ke jaringan kemudian menghantarkan sisa metabolisme melalui organ seperti ginjal, menghantarkan hormon dan materi-materi pembekuan darah.
Darah arteri berwarna merah muda karena banyak oksigen yang berikatan dengan hemoglobin dalam sel darah merah. Darah vena berwarna merag tua/gelap karena kurang oksigen dibandingkan dengan darah arteri. pH darah bersifat alkaline dengan pH 7.35 sampai 7.45 (netral 7.00). Pada orang dewasa volume darah sekitar 70 sampai 75 ml/kgBB atau sekitar 4 sampai 5 liter darah.
a.       Darah berfungsi sebagai:
1)      Transport internal
Darah membawa berbagai macam substansi untuk fungsi metabolisme.
a)      Respirasi. Gas oksigen dan karbondioksida dibawa oleh hemoglobin dalam sel darah merah dan plasma, kemudian terjadi pertukaran gas di paru-paru.
b)      Nutrisi. Nutrien/zat gizi diabsorbsi dari usus, kemudian dibawa dalam plasma ke hati dan jaringan-jaringan lain yang digunakan untuk metabolisme.
c)      Sekresi. Hasil metabolisme dibawa plasma ke dunia luar melalui ginjal.
d)     Mempertahankan air, elektrolit dan keseimbangan asam basa dan juga berperan dalam homeostatis.
e)      Regulasi metabolisme, hormon dan enzim atau keduanya mempunyai efek dalam aktivitas metabolisme sel, dibawa dalam plasma.
2)   Proteksi tubuh terhadap mikroorganisme, yang merupakan fungsi dari sel darah putih.
3)   Proteksi terhadap cidera dan perdarahan : proteksi terhadap respon peradangan lokal terhadap cidera jaringan. Pencegahan perdarahan merupakan fungsi dari trombosit karena adanya faktor pembekuan, fibrinolitik yang ada plasma.
4)   Mempertahankan temperatur tubuh: Darah membawa panas dan bersikulasi keseluruh tubuh. Hasil metabolisme juga menghasilkan energi dalam bentuk panas.
b.      Darah tersusun atas dua komponen  yaitu plasma darah dan sel-sel darah:
1)      Plasma darah yaitu bagian cair darah (55 %) yang sebagian besar terdiri dari air (92 %), 7 % protein, 1 % nutrien hasil metabolisme, gas pernafasan, enzim, hormon-hormon, faktor pembekuan dan garam-garam organik. Protein-protein dalam plasma terdiri dari serum albumin (alpha-1 globulin, alpha-2 globulin, beta globulin dan gamma globulin), fibrinogen, protombine dan posensial untuk koagulasi. Serum albumin dan gamma globulin sangat penting untuk mempertahankan tekanan osmotic koloid dan gamma globulin juga mengandung antibody (immunoglobulin) seperti IgM, IgA, IgD dan IgE untuk mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme.
2)      Sel-sel darah/ butir-butir darah (bagian padat) kira-kira 45 % terdiri attas eritrosit atau sel darah merah (SDM), leukosit atau sel darah putih (SDP) dan trombosit.
a)      Sel Darah Merah/eritrosit
         Berbentuk cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 mikron, tebal bagian tepi 2 mikron dan bagian tengahnya 1 mikron atau kurang, tersusun atas membran yang sangat tipis sehingga sangat mudah terjadi difusi oksigen, karbondioksida dan sitoplasma, tetapi tidak mempunyai inti sel. Sel darah merah yang matang mengandung 200-300 juta hemoglobin. Hemoglobin mengandung kira-kira 95 % besi dan berfungsi membawa oksigen  dengan cara mengikat oksigen (oksigenmoglobin) dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk kebutuhan metabolisme. Kadar hemoglobin tergantung usia dan jenis kelamin.
b)      Sel darah Putih/ leukosit
         Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peran utama leukosit atau sel darah putih (SDP). Batas normal jumlah sel darah putih berkisar dari 4000-10.000 mm³. Lima jenis sel darah putih yang sudah diidentifikasikan dalam darah perifer adalah: neutrofil ( 50%-70% SDP total), eosinofil (1%-2%), basofil (0,5%-1%), monosit (6%), dan limfosit (25%-33%).
          Neutrofil, eosinofil, dan basofil disebut juga granulosit, artinya sel dengan granula dalam sitoplasmanya. Diameter granulosit berkisar dari 10-14 µm; identifikasi bergantung pada afinitas granula tersebut terhadap zat warna tertentu. Sel yang granulanya memiliki afinitas eosin, yang berwarna merah sampai merah jingga, disebut eosinofil, sedangkan sel yang memiliki afinitas zat warna biru atau biasa disebut basofil. Granula neotrofil yang juga disebut neutrofil segmen atau leukosit polimorfonukle (PMN), mempunyai afinitas sedikit terhadap zat warna basa atau eosin, dan memberi warna biru atau merah muda pucat yang dikelilingi oleh sitoplasma yang berwarna merah muda. Ketiga jenis granulosit kelihatannya berasal dari sel induk pluripotensial dalam sumsum tulang.
         Sumsum tulang memiliki tempat penyimpanan cadangan yang tetap, kapasitasnya sekitar 10 kali jumlah neutrofil yang dihasilkan setiap hari. Bila timbul infeksi, neutrofil cadangan ini dimobilisasi dan dilepaskan kedalam sirkulasi, disana sel-sel tersebut berdiam selama 6 samapi 8 jam kemudian kejaringan. Neutrofil dalam sirkulasi dibagi antara kelompok yang terletak sepanjang dinding kapiler). Dengan gerakan seperti ambua, neutofil bergerak dengan cara diadepesis dari kelompok marginal masuk kedalam jaringan membran mukosa. Neutrofil merupakan sistem pertahanan tubuh melawan infeksi bakteri; metode pertahanannya adalah proses fasogitosis. Kelompok granulosit konstan dipertahankan, dipengaruhi oleh interaksi sel ke sel dan hormon pertumbuhan serta sitokin dilepaskan dari sel inflamasi.
         Eosinofil mempunyai fungsi fagosit lemah yang tidak dipahami secara jelas. Eosinofil berfungsi pada reaksi antigen-antibodi  dan meningkat pada serangan asma, reaksi obat-obatan, dan infesitasi parasit tertentu. Basofil membawa heparin, faktor-faktor pengaktifan histamin dan trombosit dalam granula-granulanya untuk menimbulkan peradangan pada jaringan; fungsi yang sebenarnya tidak diketahui dengan pasti. Kadar basofil yang meningkat (basofilia) ditemukan pada gangguan mieloproliferatif, yaitu gangguan proliferatif dari sel-sel pembentuk darah.
         Monosit lebih besar dari pada neutrofil dan memiliki inti monomorfik yang relatif sederhana. Intinya terlipat atau berlekuk dan kelihatan berlobus dengan lipatan seperti otak. Sitoplasma kelihatan jauh lebih banyak dibandingkan dengan intinya dan menyerap warna keabuan yang tidak terlalu nyata, granulanya tersebar merata. Pematangan dan pelepasan monosit terjadi lebih dari 24 hari suatu periode lebih lama dari granulosit.
         Monosit meninggalkan sirkulasi dan menjadi makrofag jaringan serta merupakan bagian dari monosit-makrofag. Umur monosit adalah beberapa minggu sampai beberapa bulan. Monosit memiliki fungsi fagosit, membuang sel-sel cedera dan mati, fragmen-fragmen sel dan mikroorganisme (seperti pada endokarditis bacterial).
         Limfosit adalah leukosit mononuklear lain (mono-morfonuklear) dalam darah, yang memiliki inti bulat atau oval yang dikelilingi oleh pinggiran sitoplasma sempit berwarna biru yang mengandung sedikit granula. Bentuk kromatin inti sarat dengan jala-jala yang berhubungan di dalam. Limfosit bervariasi dalam ukuran (7 sampai 10 µm) sampai besar, seukuran granulosit dan tampaknya berasal dari sel induk pluripotensial didalam sumsum tulang dan bermigrasi ke jaringan limfoid lain termasuk kelenjar getah bening, lien, timus dan permukaan mukosa traktus gastrointestinal dan traktus respiratorius. Terdapat dua jenis limfosit mencakup limfosit T bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam timus dan limfoit-B tidak bergantung Timus. Limfosit T bermigrasi dari kelenjar timus ke jaringan limfoid lain. Sel- sel ini secara khas ditemukan pada parakorteks kelenjar getah bening dan lembaran limfoid periarteriola dari pulpa putih lien. Limfosit B tersebar dalam folikel-folikel kelenjar getah bening, lien dan pita-pita medulla kelenjar getah bening. Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan selular melalui pembentukan atas respons kekebalan selular melalui pembentukan sel yang reaktif antigen, sedangkan limfosit B, jika diransang dengan semestinya berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan imunoglobin, sel-sel ini bertanggung jawab atas respons kekebalan humoral (Sylvia Anderson. Price, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses –Proses penyakit, 2000 : 268).
c)   Trombosit
Merupakan sel tak berinti, berbentuk cakram dengan diameter 2-5 mm, berasal dari pertunasan sel raksasa berinti banyak megakariosit yang terdapat dalam sumsum tulang. Pada keadaan normal jumlah trombosit sekitar 150.000-300.000 m/dL darah dan mempunyai masa hidup sekitar 1 samapi 2 minggu atau kira-kira 8 hari. Trombosit tersusun atas substansi fospolipid yang penting dalam pembekuan dan juga menjaga keutuhan pembuluh darah serta memperbaiki pembuluh darah kecil yang rusak.
c.   Tempat Pembentukan Darah
      Sumsum tulang (bahasa Inggris: bone marrow, medulla ossea) adalah jaringan lunak yang ditemukan pada rongga interior tulang yang merupakan tempat produksi sebagian besar sel darah baru. Ada dua jenis sumsum tulang:
1)   Sumsum merah, dikenal juga sebagai jaringan myeloid. Sel darah    merah, keping darah, dan sebagian besar sel darah putih dihasilkan         dari sumsum merah.
2)   Sumsum kuning, sumsum kuning menghasilkan sel darah putih dan             warnanya ditimbulkan oleh sel-sel lemak yang banyak dikandungnya.
Kedua tipe sumsum tulang tersebut mengandung banyak pembuluh dan kapiler darah. Sewaktu lahir, semua sumsum tulang adalah sumsum merah. Seiring dengan pertumbuhan, semakin banyak yang berubah menjadi sumsum kuning. Orang dewasa memiliki rata-rata 2,6 kg sumsum tulang yang sekitar setengahnya adalah sumsum merah. Sumsum merah ditemukan terutama pada tulang pipih seperti tulang pinggul, tulang dada, tengkorak, tulang rusuk, tulang punggung, tulang belikat, dan pada bagian lunak di ujung tulang panjang femur dan humerus. Sumsum kuning ditemukan pada rongga interior bagian tengah tulang panjang. Pada keadaan sewaktu tubuh kehilangan darah yang sangat banyak, sumsum kuning dapat diubah kembali menjadi sumsum merah untuk meningkatkan produksi sel darah.
4.   Etiologi
Meskipun pada sebagian besar penderita leukemia faktor-faktor penyebabnya tidak dapat diidentifikasi, tetapi ada beberapa faktor yang terbukti dapat menyebabkan leukemia yaitu faktor genetik, sinar radioaktif dan virus
a.   Faktor genetik
Insidensi leukemia akut pada anak-anak penderita sindrom down 20 x lebih banyak. Kelainan pada kromosom dapat menyebabkan leukemia akut. Insidensi leukemia akut juga meningkat pada penderita kelainan kongenital misalnya agranulositosis kongenital.
b.   Sinar radio aktif
Sinar radio aktif faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan leukemia pada binatang maupun pada manusia. Angka kejadian Leukemia Mieoblastik Akut (LMA) dan Leukemia Granulositik Kronis (LGK) jelas sekali meningkat sesudah terkena sinar radioaktif. Akhir-akhir ini sudah dibuktikan bahwa penderita yang diobati dengan sinar radio aktif akan menderita leukemia pada 6% klien dan baru terjadi sesudah 5 tahun.
c.   Virus
      Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang. Sampai sekarang belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Meskipun demikian, ada beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus sebagasi penyebab leukemia yaitu Enzyme Reserve Transcriptase ditemukan dalam darah manusia seperti diketahui enzim ini ditemukan dalam virus onkogenik seperti retrovirus tipe C yaitu sejenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang. Enzim tersebut menyebabkan virus yang bersangkutan dapat membentuk bahan genetik yang kemudian bergabung dengan genom yang terinfeksi (Wiwik Handayani,  Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan sistem Hematologi, 2008 : 88).
5.   Faktor Risiko
Faktor  risiko untuk leukemia antara lain adalah predisposisi genetik yang digabungkan dengan inisiator (mutasi) yang diketahui atau tidak diketahui. Saudara kandung dari anak yang menderita leukemia memiliki kecenderungan 2 sampai 4 kali lipat untuk mengalami penyakit ini dibandingkan anak-anak lain. Kromosom abnormal tertentu dijumpai dalam presentase tinggi pada pasien pengidap leukemia. Sebaliknya, individu yang mengalami abnormalitas kromosom tertentu, termasuk sindrom down, memiliki peningkatan risiko menderita leukemia. Pajanan terhadap radiasi, beberapa jenis obat yang menekan sumsum tulang, dan berbagai obat kemoterapi telah dianggap meningkatkan risiko leukemia, agen-agen  berbahaya dilingkungan juga diduga dapat menjadi faktor risiko.
Riwayat penyakit sebelumnya yang berkaitan dengan hematopoiesis (pembentukan sel darah) telah terbukti meningkatkan risiko leukemia. Penyakit-penyakit tersebut antara lain adalah penyakit limfoma Hodgkin, mieloma multiple, polisitemia vera, anemia sideroblastik, dan sindrom mielodisplastik. Riwayat leukemia kronis meningkatkan risiko leukemia akut (Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi : 431).
6.  Patofisiologi
Leukemia mempunyai sifat khas proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Ada dua masalah terkait dengan sel leukemia yaitu adanya overproduksi dari sel darah putih, keduanya adanya sel-sel abnormal atau imatur dari sel darah putih, sehingga fungsi dan strukturnya tidak normal. Produksi sel darah yang sangat meningkat akan menekan elemen sel darah yang lain seperti penurunaan produksi eritrosit mengakibatkan anemia (penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam sirulasi, abnormalitas kandungan hemoglobin sel darah merah atau keduanya) yang dapat mengakibatkan adanya keluhan sakit kepala, pusing, kelemahan dan keletihan, penurunan  nafsu makan, mual dan  muntah, diare dan stomatitis (nyeri  pada lidah dan  membran mukosa mulut), trombosit menjadi menurun mengakibatkan trombositopenia dan leukopenia dimana sel darah putih yang normal menjadi lebih sedikit. Adanya trombositopenia menyebabkan peningkatan risiko perdarahan hebat, bahkan hanya dengan cidera ringan atau perdarahan spontan kecil. Sedangkan leukopenia dapat menyebabkan individu menjadi rentan terhadap infeksi. Sel-sel kanker darah putih juga dapat menginvasi pada sumsum tulang periosteum yang dapat mengakibatkan tulang menjadi rapuh dan nyeri tulang, disamping itu infiltrasi ke berbagai organ seperti otak, ginjal, hati, limpa dan kelenjar limfe menyebabkan pembesaran dan gangguan pada organ terkait (Tarwoto. (2008) Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Hematologi : 70).
7.   Tanda dan Gejala
a.       Kepucatan dan rasa lelah akibat anemia.
b.      Infeksi berulang akibat penurunan sel darah putih.
c.       Perdarahan dan memar akibat trombositopenia dan gangguan koagulasi.
d.    Nyeri tulang akibat penumpukan sel di sumsum tulang, yang menyebabkan peningkatan tekanan dan kematian sel. Tidak seperti nyeri yang semakin meningkat, nyeri tulang berhubungan dengan leukemia biasanya bersifat progresif.
e.   Penurunan berat badan karena berkurangnya nafsu makan dan peningkatan konsumsi kalori oleh sel-sel neoplastik.
f.       Limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali akibat infiltrasi seleukemik ke organ-organ limfoid dapat terjadi.

g.     Gejala sistem saraf pusat dapat terjadi ( kerusakan saraf cranial, nyeri
kepala, papil edema pada selaput otak sistem saraf  pusat, kejang dan koma (Elizabeth J Corwin, Buku Saku Patofisiologi 2009 : 431).

8.   Pemeriksaan Diagnostik
a.      Hemoglobin (Hb) Rendah : Pada laki-laki maupun perempuan kadar Hb dapat Kurang dari 10 g/dL.
b.     Trombositopenia : Jumlah trombosit mungkin sangat rendah (<50.000/mm).
c.      Leukosit meningkat dapat lebih dari 200.000/mm³, normal atau menurun, dapat kurang dari 1000/mm³.
d.  Asam urat serum/urine: Meningkat (Kadar normal asam urat Laki-laki: 3,4-7,0 mg/dl; perempuan 2,4-5,7 mg/dL).
e.   Sumsum tulang: Mendiagnostik dan menentukan tipe sel maligna, adanya hiperseluler, sel sumsum tulang diganti sel leukosit.
f.      Pemeriksaan Immunonophenotyping : Untuk menentukan jenis sel leukemia.
g.   Lumbal pungsi: Menentukan ada tidaknya sel-sel blast dalam sistem saraf pusat, 5 % kasus leukemia terjadi kelainan.
h.   Radiografi: MRI dan CT-Scan kepala dan tubuh untuk mendeteksi adanya lesi, infeksi ditempat lain.

9.   Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan adalah memberantas/eradikasi sel-sel leukemia dengan obat anti leukemia. Prinsip sistem  pengobatannya adalah melakukan induksi, konsodilasi, rumatan dan reinduksi.
a.       Transfusi  darah diberi bila kadar hb < 6 g%. Trombosit diberi bila terjadi trombositopenia berat dan perdarahan
b.      Hindari infeksi sekunder: Pencegahan terpaparnya mikroorganisme dengan isolasi.
c.  Radioterapi dan Kemoterapi, dilakukan ketika sel leukemia sudah terjadi metastatis. Kemoterapi dilakukan juga pada fase induksi remisi yaitu keadaan dimana gejala klinis menghilang, disertai blast dalam sumsum tulang menghilang serta pada fase post remisi yang bertujuan untuk mempertahankan remisi selama mungkin.
d.     Imunoterapi, termasuk dengan interferon dan sitokin lain, digunakan untuk memperbaiki hasil.
e.    Pemberian terapi antibiotik untuk mencegah komplikasi karena adanya anemia, perdarahan dan infeksi.
f.      Transplantasi sumsum tulang merupakan alternatif dalam penanganan leukemia. Produk darah dan antibiotik spektrum luas diberikan selama prosedur transplantasi sumsum tulang unuk melawan dan mencegah infeksi.
g.     Terapi yang dijelaskan diatas dapat menimbulkan gajala, yaitu peningkatan depresi sumsum tulang lebih lanjut, mual dan muntah. Mual dan muntah dapat dilakukan dengan intervensi farmakologik dan perilaku.
10. Komplikasi
a.    Infeksi beberapa sistem (pernafasan, pencernaan) : Akibat terjadinya penurunan SDP dalam tubuh pasien yang menyebabkan klien mudah terserang infeksi.
b.     Perdarahan : Dapat terjadi Karena adanya penurunan kadar Eritrosit yang dapat mengakibatkan trombositopenia. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan.
c.   Kematian : Akibat dari regimen terapi, termasuk transplantasi sumsum tulang, dihubungkan dengan depresi sumsum tulang temporer dan peningkatan risiko perkembangan infeksi berat.
d.     Bahkan pada terapi dan remisi yang berhasil, sel-sel leukemik masih tetap ada, meninggalkan gejala sisa penyakit. Implikasi untuk prognosis dan pengobatan masih belum jelas (Elizabeth J Corwin, Buku Saku Patofisiologi, 2009 : 432).
 
DAFTAR PUSTAKA
     Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Edisi ketiga. Jakarta: EG
Handayani, Wiwik dkk. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Mansjoer, Arif dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga .Jilid ke II . Jakarta : Media Aesculapius
Muttaqin, Arif. (2009). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Kardiovaskuler dan Hematologi. Jilid ke I. Jakarta: Salemba Medika.
Price, Sylvia Anderson. (2000). Patofisiologi : konsep Klinis Proses –Proses penyakit. Edisi ke VI. Jakarta : EGC
Tarwoto. (2008). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Trans Info Media.

 TERIMA KASIH ^_^
      Semoga bermanfaat bagi pembaca... Khusus nya dibidang kesehatan... Kurang lebihnya mohon maaf... kalo ada kritik atau saran yang bersifat membangun silahkan dikoment yaaa.. ^_^

(by:Jessy . K)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar